Laskar Literasi Perpusnas RI Baca Puisi Perdamaian Bersama Penyair Asia Tengggara di Monas Jakarta

By Indonesia Maritime News 17 Sep 2025, 18:43:51 WIB Seni & Budaya
Laskar Literasi Perpusnas RI Baca Puisi Perdamaian Bersama Penyair Asia Tengggara di Monas Jakarta

Keterangan Gambar : Penampilan Yuliyanti Basri Laskar Relawan Literasi (Relima) Perpusnas RI dari Kota/Kabupaten Bogor.Foto: property of indonesiamaritimenews.com/HS



Indonesiamaritimenews.com (IMN), JAKARTA: Tak ada pesta yang tak usai. Demikian pula acara Pertemuan Penyair Nusantara XIII yang berlangsung 11-14 September lalu di Jakarta.

Selama empat hari penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussaam, dan Thailand direkatkan oleh beragam acara baca puisi, musikalisasi puisi, seminar, dan wisata naik ke puncak Monumen Nasional (Monas) yang menjadi ikon Jakarta.

Baca Lainnya :

Patung penyair Chairil Anwar yang merupakan penyair Angkatan '45, dibuat oleh perupa Arsono. Posisinya diletakkan di Taman Monas Utara. Di taman ini ada juga patung tokoh lainnya seperti M.H. Thamrin, R.A Kartini, dan Diponegoro.

Dalam patung perunggu separuh badan itu digambarkan wajah Chairil Anwar cukup tampan. Lurus memandang ke depan. Seperti sedang menikmati hijaunya pepohonan yang memagari Taman Monas..

Di depan patung itu berdiri sebuah podium terbuat dari coran semen. Di depan podium terhampar sebidang lahan kosong. Nampaknya ini ruang terbuka multifungsi. Bisa digunakan untuk lesehan sambil menonton pertunjukan dengan latar belakang panggung taman dan Tugu Monas yang puncaknya berlapis emas.

Di antara sekian banyak acara di ruang terbuka ini adalah tampilnya para penyair Indonesia dan Asia Tenggara membacakan puisi-puisinya.

Dari puluhan penyair Indonesia ada Firman Wally dari Maluku, Mohammad Ade Putra dan Muhammad Dava, (keduanya Kalimantan Selatan), Nanang R Supriyatin (Jakarta), Dyah Kencono (Bekasi), Tora Kundera (Depok), Yuliyanti Basri (Bogor).

Penampilan Yuliyanti Basri yang merupakan Laskar Relawan Literasi (Relima) Perpusnas RI dari Kota/Kabupaten Bogor cukup menyita perhatian dengan aksi panggungnya.

Berusaha menampilkan ke-Indonesiaan, Julia Basri, demikian nama populer penyair yang merangkap dosen, itu mengenakan ikat kepala dengan motif Kalimantan Utara.

Sementata itu jari mungilnya mengibar-ngibarkan ulos, selendang khas Batak, Sumatera Utara. Tentu saja, dia pun mengenakan pakaian kebesaran Relima, berupa rompi hijau pupus berlogo Perpunas RI dan Relima.

Di mata Julia Basri, Pertemuan Penyair Nusantara ke-13 ini adalah

perhelatan penyair yang ruang silaturahmi batin dan pikiran, tempat para penyair dari seluruh penjuru negeri dan Asia Tenggara bersua dalam ikatan karya.

Rangkaian acara terselenggara dengan penuh khidmat dan kehangatan. Setiap bait, setiap larik, menjadi jembatan yang mempersatukan hati dan mengikat persaudaraan dalam bahasa.

"Saya menyampaikan apresiasi kepada segenap panitia yang telah mencurahkan tenaga, waktu, dan dedikasi dalam menyiapkan perjamuan kata ini. Sehingga seluruh penyair merasa diterima dengan hangat dan penuh penghargaan," paparnya. .

Berikut adalah puisi Julia Basri yang lolos seleksi dan dimuat pada Antologi PPN XIII bersama ratusan penyair Indoneaia dan negara Asia Tenggara lainnya.

Vokalnya yang bulat padat Julia Basri membawakan puisi karyanya yang berjudul Mejikuhibiniu:

MEJIKUHIBINIU

Mantra Cinta Dari Langit Duka

Langit tak lagi biru, ia lebam, dari pertempuran yang tak diminta. Kain mori terhampar putih tanpa cela, seperti jiwa yang menunggu cat warna perdamaian, menyerap tinta doa dan air mata yang jatuh, menjadi kanvas bisu dari harapan yang tak pernah pudar.

Dunia menjadi panggung bagi suara yang saling membakar, bukan merdu, melainkan jeritan yang saling menenggelamkan.

Tapi ketika bumi menangis, dan hujan turun sebagai pelukan terakhir, maka dari luka itu, kami muncul.

Kami Pelangi, Merah, bukan darah, tapi keberanian untuk menanggalkan dendam.

Mantra duka terurai di udara, Jingga, bukan kobaran, tapi nyala hangat persahabatan yang tak pilih bangsa. Kuning, cahaya pagi yang mengetuk jendela siapa saja. tanpa bertanya agama, tanpa menakar warna kulit.

Hijau, doa dari pohon yang tak pernah bertany a siapa yang berteduh, selama kau tak membawa gergaji di tanganmu.

Biru, lautan dalam, yang menyimpan ribuan cerita tanpa membocorkan rahasia luka siapa pun. Nila dan Ungu, dua ujung senyap dari malam yang tahu bahwa damai tak selalu datang dari suara, kadang hanya butuh diam yang mengerti.

Kami adalah MeJiKuHiBiNiU

bukan cat, bukan pita, bukan hiasan setelah badai.

Kami adalah mantra, sumpah setia semesta bahwa cahaya bisa bersatu, tanpa harus serupa.

Dunia, dengarlah:

Kami tak datang untuk dirayakan, kami datang karena kalian saling melukai.

Kami adalah isyarat yang lembut tapi lantang. bahwa perbedaan bukan pangkal perang. melainkan nada-nada, yang menunggu disusun jadi simfoni Kami tak menolak siapa pun yang menengadah tak memilah mata yang memandang

Kami ada di atasmu, menyulam langit dengan tujuh helai kasih agar manusia, belajar:

jika cahaya saja bisa saling menyatu. mengapa kalian terus ingin saling memadamkan? Kami adalah tujuh helai kasih, mantra perdamaian dan persaudaraan.( Herman Syahara/*)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook